Doha, 26 Juni 2025 — Di tengah ketegangan memuncak antara Iran, Israel, dan Amerika Serikat, nama Qatar kembali mencuat, bukan sebagai pelaku utama, melainkan sebagai korban dari pertarungan kekuatan yang lebih besar. Negara kecil di Teluk ini kini berada di garis api konflik, setelah pangkalan militer Amerika Serikat di wilayahnya menjadi sasaran serangan rudal Iran pada 23 Juni 2025.
Serangan tersebut, meskipun tidak menimbulkan korban jiwa dan telah diperingatkan sebelumnya oleh Iran, tetap menjadi pesan yang amat jelas: Qatar tidak lagi bisa menjaga netralitasnya. Iran, melalui serangan ke pangkalan Al-Udeid, ingin menunjukkan ketidaksenangannya terhadap kehadiran militer Amerika di tanah Arab yang digunakan untuk menyerang Teheran.
Al-Udeid, pangkalan udara terbesar AS di Timur Tengah, merupakan salah satu aset militer paling strategis di kawasan, rumah bagi ribuan tentara AS dan pusat operasi militer regional. Saat rudal-rudal Iran menghantam area perimeter pangkalan itu, dunia menyadari bahwa skala konflik telah berubah — ini bukan hanya perang Iran–Israel, melainkan perang dengan jangkauan yang lebih luas, dan Qatar tidak lagi bisa bersembunyi di balik layar diplomasi.
Qatar Terjepit di Antara Dua Kekuatan
Setelah insiden tersebut, pemerintah Qatar mengeluarkan pernyataan resmi yang menyebut bahwa negaranya “sangat menyesalkan” terjadinya serangan dan menyerukan semua pihak untuk menahan diri. Namun, di balik pernyataan publik yang diplomatis itu, sumber dari internal pemerintahan Qatar menyebut bahwa tekanan dari Washington meningkat tajam.
Amerika Serikat, yang telah mengandalkan Qatar sebagai basis militernya sejak awal 2000-an, kini meminta Doha untuk lebih tegas terhadap Iran. Beberapa laporan menyebut adanya desakan agar Qatar memutus hubungan dagang dan diplomatik dengan Teheran sebagai bentuk solidaritas terhadap serangan yang mereka alami.
Namun permintaan itu bukan perkara mudah. Qatar memiliki sejarah hubungan ekonomi yang cukup stabil dengan Iran, terutama dal
